Masalah sejarah sastra adalah masalah berkaitan dengan periodisasi sastra. Sejarah sastra berkaitan erat dengan kondisi kreatif dan karya kreatif karya sastra pada zamnnya. Sejarah sastra Indonesia modern menandai adanya pembatas antara sastra tradisional atau sastra lama.
Seperti yang telah disebutkan di artikel sebelumnya tentang sastra lama (berkaitan dengan puisi lama), sejarah sastra Indonesia modern ditandai dengan adanya penerbit Balai Pustaka. Balai Pustaka sebagai penerbit yang menerbitkan karya-karya sastra pada tahun 1920 menandai tahun penting lahirnya sastra Indonesia.
Sebelumnya masih belum ada sastra Indonesia. Yang ada adalah sastra daerah, atau sastra melayu. Meskipun sebelumnya sudah ada karya sastra yang dihasilkan. Jadi, sejarah sastra Indonesia modern dimulai ketika ada karya sastra yang dibuat oleh orang Indonesia, dengan menggunakan bahasa Indonesia dan dijiwai oleh rasa keindonesiaan.
Jadi, itu pengertian Sastra Indonesia yang kaitannya erta dengan sejarah sastra Indnesia.
Setelah lahir, Sastra Indonesia Modern, maka sejak itulah sejarah sastra dimulai. Ditandai dengan adanya pebagian dan perkembangan proses dan karya kreatif. Para ahli membagi sastra Indonsia pada tahapan-tahapan atau angkatan-angkatan sastra. Masing-masing angkatan sastra dan sastrawan mengisi plot perkembangan sastra Indonesia modern menjadi satu kesatuan yang utuh.
Dimulai dari angkata Balai Pustaka atau angkatan 20-an. Penamaan 'angkatan 20' merujuk pada tahun mulai lahirnya sastra Indonesia. Penamaan angkatan 'Balai Pustaka' merujuk pada satu-satunya penerbit atau penerbit pertama yang menerbitkan karya sastra Indonesia di masa penjajahan Belanda.
Karakteristik angkatan 20-an ini bisa disebut sebagai transisi antara sastra Indoensia modern dan sastra daerah.
Bisa dijelaskan sebagai berikut. Angkatan 20-an tema yang diangkat adalah tema pertentangan. Mencoba mendobrak budaya dan alam pengetahuan tradisional melalui karya sastra. Misalnya dalam masyarakat masih ada kawin paksa, dalam karya sastra ditunjukkan bahwa kawin paksa itu menyakitkan dan sudah tidak relevan.
Akan tetapi dalam karya sastra ini, masih dipengaruhi oleh cara-cara dan beberapa karakter karya sastra lama. Misalnya, masih bersifat didaktis. Masih banyak berupa gaya penceritaan seolah-olah berututur atau mendongeng. Ini menanadai bahwa angkatan 20 sudah 'mulai' modern tetapi masih mengakomodasi model sastra lama.
Persamaan dan Perbedaan antara sastra lama dan sastra modern angaktan 20-an atau angkatan Balai Pustaka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Sastra Lama istana sentris, Maksudnya pusat kisah dan cerita selalu berkaitan dengan raja-raja. Pangeran dan sekitar istana kerajaan. Bisa dirunut kisah Damarwulan, Kisa Hulu Balang Raja.
Sastra modern angkatan 20-an atau angkatan Balai Pustaka sudah tidak berpusat pada kerajaan, sudah berpusat mengisahkan kisah masyarakat bawah yang bukan raja.
Sastra Lama bersifat mempertahankan tradisi, melalui cerita dan ajaran. Sastra Indonesia moderna sudah mulai membahas tentang penolakan terhadap tradisi yang dianggap kolot.
Sastra lama bersifat didaktis, atau menggurui. Sama dalam sastra Inodnesia modern angaktan 20an juga masih bersifat didaktis.
Dalam pernceritaan sastra lama, diselingi pantun dan syair. Sama. Dalam sanstra angkatan 20-an. Roman atau Novel juga memuat pantun dan syair yang tidak sedikit.
Periodisasi Sastra dala Sejarah Sastra Indonesia Modern selanjutnya adalah adanya angkatan 33. merujuk pada tahun 1933. Ada pula yang menyebut sebagai angkatan 30-an. Ada pula yang menyebut angkatan Poejangga Baroe (Pujangga Baru) karena merujuk pada Majalah Sastra Poejangga Baroe.
Dalam periode ini 'Perlawanan' terhadap sastra lama semakin terasa. Mualai bekembang puisi yang tidak lagi terikat. Adapun jika terikat sudah mulai muncul pencampuran antara pola satu dengan yang lain. Hal ini ditandi dengan lahirnya puisi 'Bukan Beta Bijak Berperi'.
Puisi tersebut memiliki kemiripan dengan bentuk pantun sekaligus bentuk puisi. Dalam puisi Bukan Beta Bijak Berperi, bait selalu terdiri dari empat baris. Bedanya dengan pantun, semua baris adalah isi, jadi seoalah-olah itu adalah syair. Tetapi bedanya dengan syair, puisi tersebut menggunakan rima (sajak akhir) abab, seolah-olah pantun.
Bedanya angaktan Pujangga Baru dengan Angkatan Balai Pustaka adalah, Pujangga Baru lebih berani menunjukkan keindaonesiaan dan nasionalisme. Maklum, semangat kemerdekaan saat itu sudah mulai memuncak. Beda dengan tahun 1920-an yang semangat nasionalisme masih 'baru tumbuh'. Ditambah lagi Balai Poestaka merupakan lembaga pemerintah penjajah. Tidak mungkin tidak, pasti melakukan sensor terhadap karya sastra yang hendak diterbitkan.
Periode Sejarah Sastra Indonesia selanjutnya adalah angkatan 1945. Ciri-ciri angaktan ini adalah adanya sikap yang tegas dalam berIndnesia. Nasionalisme menjadi salah satu tema wajib dalam angkatan ini. Yang menjadi Pelopor adalah Chairil Anwar. Karena karyanya yang membawa warna baru dalam puisi Indonesia. Baik dari segi tema maupun bentuk dan wujud karya kreatif.
Dalam periode sejarah sastra ini, karya sastra yang dihasilkan adalah karya sastra yang mendukung semangat perjuangan dan mendukung kemerdekaan Indonesia. Tidak sedikit pula sastrawan yang terlibat aktif dalam upaya dan proses perang kemerdekaan. Maka banyak pula karya sastra dengan tema perang dan perjuangan.
Periode Sastra selanjutnya adalah angkatan 66 atau angkatan 60-an. Sejarah Sastra Indonesia ini disusun berkaitan dengan kecenderungan karya sastra yang dihasilkan. Karya sastra pada masa ini berisi tema-tema politik. Dengan gaya penceritaan yang semakin tegas dan beragam.
Dalam masa periodisasi sejarah sastra Indonesia ini, ditandai juga dengan perselisihan antarsastrawan Perselisihan dan pertentangan bahkan berupa penyerangan karakter muncul seiring perbedaan pilihan politik dan sikap politik para sastrawan.
Pada masa ini ditandai dengan adanya lembaga-lembaga sastra yang berafiliasi dengan partai politik. ADa lembaga kebudayaan rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI. Ada pula Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) berafiliasi dengan Partai NU.
Selanjutnya, periodisasi sejarah sastra Indoensia Modern adalah angkatan 80-an. Dalam angkatan ini, Puisi kembali menemukan pola baru. Dengan represi pemerintah yang sangat kuta, maka puisi menjadi penyalur aspirasi yang sangat efektif. Selain dengan bahasa bersayap yang tidak bisa dimaknai satu arah, puisi juga efektif untuk mengkritik pemerintah.
Terlebih pada periode ini muncul puisi kontemporer yang seolah olah kembali ke bentuk awal puisi sebagai mantra. Bedanya puisi kontemporer mengambil tema kekinian dan ditulis dalam bentuk kekinian. Mesekipun pola penulisannya ada yang mirip dengan mantra.
Selanjutnya ada pula yang menyebut adanya angkatan sastra Indonesia di tahun 2000 dan menyebut 'Angkatan 2000'. Meskipun ada pula yang mengkritik bahwa tidak ada angkatan 2000 karena tidak ada pola karya yang menonjol dibandingkan dengan angkatan sebelumya.
Masalah periodisastra ini muncul karena seolah tidak ada kritik sastra yang kuat, mampu 'dianut' atau 'dikritik' oleh pelaku sastra yang lain. Tetapi, pernah terbit buku 'Angkatan 2000'.
Di tahun 2000 juga muncul sastra poskolonial. Karena berkaitan dengan penguasa dan karya sastra yang baru bisa terbit pada tahun 2000 meskipun ditulis jauh sebelum itu.
Pada tahun 2000-an juga mulai muncul sastra novel yang berupa 'buku Motivasi'. Ada dan berkembang pula sastra lendir, yang mengeksplorasi seksualitas secara berlebihan yang sebelumnya dianggap tabu. Pada tahun 2000-an pula muncul novel-novel 'pesantren'. Novel yang ditulis oleh santri dengan latar pesantren dan penceritaan sekitar pesantren
Itulah periode-periode sastra Indonesia berkaitan dengan sejarah sastra Indonesia. Jika merujuk pada pola urutan waktu dapat ditelah sebagai berikut.
Lahir tahun 1920.
Angkatan 1930 (selisih dangan angkatan sebelumnya 10 tahun).
Angkatan 1945 (selisih dengan angakatan sebelumnya 15 tahun)
Angkatan 1966 (selisih dengan angakatan sebelumya 20 tahun)
Angkatan 1980-an (Selisih 20-an tahun)
Angkatan 2000-an (selisih 20-an tahun)
Melihat pola ini, sejarah sastra Inodnesia harusnya memiliki angkatan baru pada tahun 2020 atau 2025. Tetapi akan ada apa di tahun 2020 atau 2025. Akan muncul karya fenomenal yang menjadi mercusuar dan ditiru oleh gerakan para penulis yang lain, mungkin bisa jadi. Atau sejarah sastra Indonesia akan berakhir begini-begini saja. Periodisasi sastra berhenti pada 1980 seperti pada kurikulum pendidikan di sekolah.
Karena sejarah selalu berkaitan dengan waktu, maka hanya bisa dijawab dengan jawaban klasik dan klise serta membosankan: Biarkan waktu yang akan menjawab.
Seperti yang telah disebutkan di artikel sebelumnya tentang sastra lama (berkaitan dengan puisi lama), sejarah sastra Indonesia modern ditandai dengan adanya penerbit Balai Pustaka. Balai Pustaka sebagai penerbit yang menerbitkan karya-karya sastra pada tahun 1920 menandai tahun penting lahirnya sastra Indonesia.
Sejarah Sastra Indonesia ditandai dengan Adanya Penerbit 'Balai Pustaka' |
Sebelumnya masih belum ada sastra Indonesia. Yang ada adalah sastra daerah, atau sastra melayu. Meskipun sebelumnya sudah ada karya sastra yang dihasilkan. Jadi, sejarah sastra Indonesia modern dimulai ketika ada karya sastra yang dibuat oleh orang Indonesia, dengan menggunakan bahasa Indonesia dan dijiwai oleh rasa keindonesiaan.
Jadi, itu pengertian Sastra Indonesia yang kaitannya erta dengan sejarah sastra Indnesia.
Setelah lahir, Sastra Indonesia Modern, maka sejak itulah sejarah sastra dimulai. Ditandai dengan adanya pebagian dan perkembangan proses dan karya kreatif. Para ahli membagi sastra Indonsia pada tahapan-tahapan atau angkatan-angkatan sastra. Masing-masing angkatan sastra dan sastrawan mengisi plot perkembangan sastra Indonesia modern menjadi satu kesatuan yang utuh.
Dimulai dari angkata Balai Pustaka atau angkatan 20-an. Penamaan 'angkatan 20' merujuk pada tahun mulai lahirnya sastra Indonesia. Penamaan angkatan 'Balai Pustaka' merujuk pada satu-satunya penerbit atau penerbit pertama yang menerbitkan karya sastra Indonesia di masa penjajahan Belanda.
Karakteristik angkatan 20-an ini bisa disebut sebagai transisi antara sastra Indoensia modern dan sastra daerah.
Bisa dijelaskan sebagai berikut. Angkatan 20-an tema yang diangkat adalah tema pertentangan. Mencoba mendobrak budaya dan alam pengetahuan tradisional melalui karya sastra. Misalnya dalam masyarakat masih ada kawin paksa, dalam karya sastra ditunjukkan bahwa kawin paksa itu menyakitkan dan sudah tidak relevan.
Akan tetapi dalam karya sastra ini, masih dipengaruhi oleh cara-cara dan beberapa karakter karya sastra lama. Misalnya, masih bersifat didaktis. Masih banyak berupa gaya penceritaan seolah-olah berututur atau mendongeng. Ini menanadai bahwa angkatan 20 sudah 'mulai' modern tetapi masih mengakomodasi model sastra lama.
Persamaan dan Perbedaan antara sastra lama dan sastra modern angaktan 20-an atau angkatan Balai Pustaka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Sastra Lama istana sentris, Maksudnya pusat kisah dan cerita selalu berkaitan dengan raja-raja. Pangeran dan sekitar istana kerajaan. Bisa dirunut kisah Damarwulan, Kisa Hulu Balang Raja.
Sastra modern angkatan 20-an atau angkatan Balai Pustaka sudah tidak berpusat pada kerajaan, sudah berpusat mengisahkan kisah masyarakat bawah yang bukan raja.
Sastra Lama bersifat mempertahankan tradisi, melalui cerita dan ajaran. Sastra Indonesia moderna sudah mulai membahas tentang penolakan terhadap tradisi yang dianggap kolot.
Sastra lama bersifat didaktis, atau menggurui. Sama dalam sastra Inodnesia modern angaktan 20an juga masih bersifat didaktis.
Dalam pernceritaan sastra lama, diselingi pantun dan syair. Sama. Dalam sanstra angkatan 20-an. Roman atau Novel juga memuat pantun dan syair yang tidak sedikit.
Periodisasi Sastra dala Sejarah Sastra Indonesia Modern selanjutnya adalah adanya angkatan 33. merujuk pada tahun 1933. Ada pula yang menyebut sebagai angkatan 30-an. Ada pula yang menyebut angkatan Poejangga Baroe (Pujangga Baru) karena merujuk pada Majalah Sastra Poejangga Baroe.
Dalam periode ini 'Perlawanan' terhadap sastra lama semakin terasa. Mualai bekembang puisi yang tidak lagi terikat. Adapun jika terikat sudah mulai muncul pencampuran antara pola satu dengan yang lain. Hal ini ditandi dengan lahirnya puisi 'Bukan Beta Bijak Berperi'.
Puisi tersebut memiliki kemiripan dengan bentuk pantun sekaligus bentuk puisi. Dalam puisi Bukan Beta Bijak Berperi, bait selalu terdiri dari empat baris. Bedanya dengan pantun, semua baris adalah isi, jadi seoalah-olah itu adalah syair. Tetapi bedanya dengan syair, puisi tersebut menggunakan rima (sajak akhir) abab, seolah-olah pantun.
Bedanya angaktan Pujangga Baru dengan Angkatan Balai Pustaka adalah, Pujangga Baru lebih berani menunjukkan keindaonesiaan dan nasionalisme. Maklum, semangat kemerdekaan saat itu sudah mulai memuncak. Beda dengan tahun 1920-an yang semangat nasionalisme masih 'baru tumbuh'. Ditambah lagi Balai Poestaka merupakan lembaga pemerintah penjajah. Tidak mungkin tidak, pasti melakukan sensor terhadap karya sastra yang hendak diterbitkan.
Periode Sejarah Sastra Indonesia selanjutnya adalah angkatan 1945. Ciri-ciri angaktan ini adalah adanya sikap yang tegas dalam berIndnesia. Nasionalisme menjadi salah satu tema wajib dalam angkatan ini. Yang menjadi Pelopor adalah Chairil Anwar. Karena karyanya yang membawa warna baru dalam puisi Indonesia. Baik dari segi tema maupun bentuk dan wujud karya kreatif.
Dalam periode sejarah sastra ini, karya sastra yang dihasilkan adalah karya sastra yang mendukung semangat perjuangan dan mendukung kemerdekaan Indonesia. Tidak sedikit pula sastrawan yang terlibat aktif dalam upaya dan proses perang kemerdekaan. Maka banyak pula karya sastra dengan tema perang dan perjuangan.
Periode Sastra selanjutnya adalah angkatan 66 atau angkatan 60-an. Sejarah Sastra Indonesia ini disusun berkaitan dengan kecenderungan karya sastra yang dihasilkan. Karya sastra pada masa ini berisi tema-tema politik. Dengan gaya penceritaan yang semakin tegas dan beragam.
Dalam masa periodisasi sejarah sastra Indonesia ini, ditandai juga dengan perselisihan antarsastrawan Perselisihan dan pertentangan bahkan berupa penyerangan karakter muncul seiring perbedaan pilihan politik dan sikap politik para sastrawan.
Pada masa ini ditandai dengan adanya lembaga-lembaga sastra yang berafiliasi dengan partai politik. ADa lembaga kebudayaan rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI. Ada pula Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) berafiliasi dengan Partai NU.
Selanjutnya, periodisasi sejarah sastra Indoensia Modern adalah angkatan 80-an. Dalam angkatan ini, Puisi kembali menemukan pola baru. Dengan represi pemerintah yang sangat kuta, maka puisi menjadi penyalur aspirasi yang sangat efektif. Selain dengan bahasa bersayap yang tidak bisa dimaknai satu arah, puisi juga efektif untuk mengkritik pemerintah.
Terlebih pada periode ini muncul puisi kontemporer yang seolah olah kembali ke bentuk awal puisi sebagai mantra. Bedanya puisi kontemporer mengambil tema kekinian dan ditulis dalam bentuk kekinian. Mesekipun pola penulisannya ada yang mirip dengan mantra.
Selanjutnya ada pula yang menyebut adanya angkatan sastra Indonesia di tahun 2000 dan menyebut 'Angkatan 2000'. Meskipun ada pula yang mengkritik bahwa tidak ada angkatan 2000 karena tidak ada pola karya yang menonjol dibandingkan dengan angkatan sebelumya.
Masalah periodisastra ini muncul karena seolah tidak ada kritik sastra yang kuat, mampu 'dianut' atau 'dikritik' oleh pelaku sastra yang lain. Tetapi, pernah terbit buku 'Angkatan 2000'.
Di tahun 2000 juga muncul sastra poskolonial. Karena berkaitan dengan penguasa dan karya sastra yang baru bisa terbit pada tahun 2000 meskipun ditulis jauh sebelum itu.
Pada tahun 2000-an juga mulai muncul sastra novel yang berupa 'buku Motivasi'. Ada dan berkembang pula sastra lendir, yang mengeksplorasi seksualitas secara berlebihan yang sebelumnya dianggap tabu. Pada tahun 2000-an pula muncul novel-novel 'pesantren'. Novel yang ditulis oleh santri dengan latar pesantren dan penceritaan sekitar pesantren
Itulah periode-periode sastra Indonesia berkaitan dengan sejarah sastra Indonesia. Jika merujuk pada pola urutan waktu dapat ditelah sebagai berikut.
Lahir tahun 1920.
Angkatan 1930 (selisih dangan angkatan sebelumnya 10 tahun).
Angkatan 1945 (selisih dengan angakatan sebelumnya 15 tahun)
Angkatan 1966 (selisih dengan angakatan sebelumya 20 tahun)
Angkatan 1980-an (Selisih 20-an tahun)
Angkatan 2000-an (selisih 20-an tahun)
Melihat pola ini, sejarah sastra Inodnesia harusnya memiliki angkatan baru pada tahun 2020 atau 2025. Tetapi akan ada apa di tahun 2020 atau 2025. Akan muncul karya fenomenal yang menjadi mercusuar dan ditiru oleh gerakan para penulis yang lain, mungkin bisa jadi. Atau sejarah sastra Indonesia akan berakhir begini-begini saja. Periodisasi sastra berhenti pada 1980 seperti pada kurikulum pendidikan di sekolah.
Karena sejarah selalu berkaitan dengan waktu, maka hanya bisa dijawab dengan jawaban klasik dan klise serta membosankan: Biarkan waktu yang akan menjawab.
Comments
Post a Comment