Acep Zamzam Noer nama bernama
Muhammad Zamzam Noor Ilyas. Dia adalah anak sulung seorang ulama, K.H. Ilyas. Acep Zamzam Noor dilahirkan di Kabupaten
Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 28 Februari 1960.
Acep Zamzam Noor adalah penyair
yang berasal dari etnis Sunda. Sebagai anak seorang kiai, dia dibesarkan dalam
lingkungan kehidupan pesantren. Latar belakang pendidikannya cukup beragam.
Pendidikan yang pernah ditempuh
oleh Acep Zamzam Noor, antara lain, Pondok Pesantren Cipasung, di Tasikmalaya, melanjutkan
SMA di Jakarta (tamat pada tahun 1980), selanjutnya menjadi santri di Pondok Pesantren As-Syafi'iyah di
Jakarta. Pernah juga menjadi mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi
Bandung (tamat tahun 1987), serta sempat belajar di luar negeri, di Universita'
Italiana per Stranieri, Italia (antara 1991—1993).
Sebelum kuliah di ITB, dia
pernah menjadi mahasiswa STSRI "ASRI" Yogyakarta, jurusan seni lukis,
akan tetapi mengundurkan diri.
Acep Zamzam Noor pernah
bekerja di banyak media massa cetak. Media massa tersebut antara lain harian
Pikiran Rakyat. Tulisannya pernah dimuat di berbagai media, antara lain Horison,
Dewan Sastra, Kalam, Kompas, Republika, Pikiran Rakyat, dan Media Indonesia.
Acep Zamzam Noor juga
menulis sajak dalam bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia. Selain itu, dia juga
menulis esai tentang sastra.
Sejak tahun 1976 sudah
menulis sajak. Saat tinggal di Bandung dia mulai mengembangkan bakat sebagai
penyair. Beberapa buku kumpulan sajak yang telah diterbitkan antara lain:
- - Tamparlah Mukaku! (1982),
- - Aku Kini Doa (1986),
- - Kasidah Sunyi (1989),
- - Dari Kota Hujan (1996),
- - Di Luar Kata (1996),
- - Di Atas Umbira (1999),
- - Dayeuh Matapoe (1993, kumpulan sajak dalam bahasa Sunda).
Selain menerbitkan buku
kumpulan sajak seorang diri, karyanya juga diterbitkan sebagai antologi dan
buku kumpulan sajak. Antologi bersama penyair lain antara lain dalam:
- Tonggak 4 (1987)
- Dari Negeri Poci (1994)
- Ketika Kata Ketika Warna (1995).
Esai yang telah ditulis dan
dimuat dalam Angkatan 2000 karyanya berjudul “Pesantren, Santri, dan Puisi”
Sajak karya Acep Zamzam
Noor dalam bahasa Sunda diterjemahkan oleh Ajip Rosidi dan Wendy Mukherjee ke
dalam bahasa inggris, sebagai bagian dari antologi puisi Sundan berbahas Inggir
Modern Sundanese Poetry, tahun 2001.
Sebagai penyair muda,
kemunculan Acep Zamzam Noor disebut sebagai yang paling berhasil oleh kritikus Hidayat S. Acep dianggap paling berhasil
dibanding penyair muda yang sezaman. Puisinya dianggab berhasil karena puisinya
mampu mengandung makna yang religius.
Berikut ini tanggapan dari
para pengamat sastra mengenai Acep Zamzam Noor:
Nanang R. Supriatin: “Gambaran
yang disampaikan Acep adalah sebagian dari segudang persoalan hidup dan
kehidupan yang belum terjawabkan.”
Slamet Sukirnanto: “Acep Zamzam
Noor yang sejak awal mendapatkan pendidikan di lingkungan pesantren pada
dirinya tertanam rasa keagamaan dengan segala norma dan nilai Islam. Akidah dan
syariat telah tertanam dalam hatinya sehingga ia terkejut, terperangah
menghadapi sistem nilai, sistem sosial, dan sistem budaya baru yang hampir
tidak dikenalnya dan tidak terbayangkan sebelumnya, khususnya ketika ia
bersentuhan dengan hidup dan kehidupan modern.”
Ook Nugroho: “Acep Zamzam
Noor adalah seorang penyair alam tulen, dalam arti kata ia memang menyerap dan
belajar begitu banyak dari alam. Alam bukan hanya sekadar dipinjamnya untuk
digunakan sebagai "alat" pengungkapan cita rasa puitiknya, tetapi
lebih jauh dari itu. Baginya alam adalah semacam kitab rahasia yang masih harus
disingkapkan halaman-halamannya supaya terbaca segala makna yang tersirat di
baliknya”
Sapardi Djoko Damono: “Acep
Zamzam Noor sebagai penyair yang akrab dengan alam pedesaaan sebagaimana yang
terungkap dalam "Cipasung" yang disebutnya sebagai sajak yang
berhasil.”
Tidak hanya menulis puisi,
Acep juga melukis dan mengadakan pameran. Bahkan pada tahun 1986, ia mengikuti
acara Fourth ASEAN Youth Painting
Workshop and Exhibition yang bertempat di Manila, Filipina. Selain itu dia juga
mengikuti Second ASEAN Writes Conference di juga di Manila pada 1995. Pada
tahun yang sama, dia mengikuti 10th Asian International Art Exhibition di
Singapura. Acep juga menjadi peserta aktif dalam Festival Puisi
Indonesia-Belanda dan Istiqlal International Poetry Reading. Pada 1996 ia ikut workshop dan pameran seni grafis di Grafisch
Atelier Utrecht, Belanda. Pada 1997 Acep ikut membacakan puisi dan memamerkan
lukisan di Festival Seni Ipoh II, Malaysia. Pada tahun itu pula ia menjadi
pendamping delegasi penyair muda dari Indonesia dalam Bengkel Puisi Majelis
Sastra Asia Tenggara di Jakarta. Dia juga mengikuti Festival Puisi
Internasional Winternachten Overzee di Teater Utan Kayu, Jakarta tahun 2001 dan
pada tahun 2004 dalam acara yang sama di Den Haag.
Sebagai penyair, Acep
Zamzam Noor telah memperoleh berbagai penghargaan dari berbagai pihak.
- Memperoleh hadiah sastra (tahun 1991 dan 1993) dari Dari Lembaga Basa jeung Sastra Sunda, sebuah lembaga kesastraan di Bandung, ia memperoleh hadiah sastra dua kali, atas puisi sundan yang dikarangnya.
- Memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra (tahun 2001) dari Pusat Bahasa untuk kumpulan puisinya Di Luar Kata.
- Memperoleh The SEA Write Awards pada 2005 dari Kerajaan Thailand dengan kumpulan sajaknya ‘Jalan Menuju Rumahmu.’
- Memperoleh penghargaan dari Khatulistiwa Literary (2006-2007) atas kumpulan puisi yang berjudul Menjadi Penyair Lagi.
Demikian penjelasan singkat
mengenai Acep Zamzam Noor dan Daftar karya serta penghargaan yang telah
diterimanya.
Acep
Zamzam Noer nama lengkapnya ialah Muhammad Zamzam Noor Ilyas adalah
anak sulung K.H. Ilyas. Dia dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28
Februari 1960. Penyair yang berasal dari etnis Sunda dan dibesarkan
dalam lingkungan kehidupan pesantren itu memiliki latar belakang
pendidikan yang cukup beragam. Pendidikan yang pernah dilaluinya, antara
lain, adalah Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, SMA di Jakarta
(tamat 1980), menjadi santri di Pondok Pesantren As-Syafi'iyah, Jakarta,
Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB (tamat 1987), serta Universita'
Italiana per Stranieri, Perugia, Italia (1991—1993). Sebelum berkuliah
di ITB, ia pernah tercatat sebagai mahasiswa STSRI "ASRI" Yogyakarta,
jurusan seni lukis, tetapi mengundurkan diri.
Dia pernah bekerja di berbagai media massa cetak, antara lain harian
Pikiran Rakyat. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media massa
cetak, antara lain Pikiran Rakyat, Horison, Kalam, Dewan Sastra,
Republika, Kompas, dan Media Indonesia.
Selain menulis sajak, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda,
ia juga menulis esai sastra. Dia mulai menulis sajak tahun 1976. Dia
mengembangkan dunia kepenyairannya sejak tinggal di Bandung.
Sejumlah sajaknya telah diterbitkan dalam bentuk kumpulan sajak, yaitu
Tamparlah Mukaku! (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989),
Dari Kota Hujan (1996), Di Luar Kata (1996), Di Atas Umbira (1999),
serta Dayeuh Matapoe (1993, kumpulan sajak dalam bahasa Sunda). Selain
itu, beberapa sajaknya hadir dalam antologi bersama penyair lain,
seperti Tonggak 4 (1987), Dari Negeri Poci (1994), dan Ketika Kata
Ketika Warna (1995). Beberapa esai telah ditulisnya, antara lain
"Pesantren, Santri, dan Puisi" yang dimuat dalam Angkatan 2000 dalam
Sastra Indonesia. Sajak-sajak berbahasa Sundanya sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris oleh Ajip Rosidi dan Wendy Mukherjee untuk masuk
dalam antologi puisi Sunda berbahasa Inggris Modern Sundanese Poetry:
Voices from West Java (Pustaka Jaya, 2001) dan ke dalam bahasa Perancis
oleh Ajip Rosidi dan Henri Chambert-Loir untuk Poems Soundanais:
Anthologie Bilingue (Pustaka Jaya,2001).
Kemunculan sosok Acep Zamzam Noor sebagai seorang penyair mengundang
beragam pendapat dari para pengamat. Pada awal kemunculannya sebagai
penyair muda, Hidayat S. menyatakan bahwa Acep Zamzam Noor dinilai lebih
berhasil jika dibandingkan dengan penyair muda lainnya yang sezaman.
Puisinya dinilai kaya dan sarat dengan renungan, imaji alam yang
diungkapkannya dinilai cukup berhasil sehingga suasana sajaknya menjadi
religius. Selanjutnya, Nanang R. Supriatin menyatakan bahwa gambaran
yang disampaikan Acep adalah sebagian dari segudang persoalan hidup dan
kehidupan yang belum terjawabkan.
Selain itu, Slamet Sukirnanto menyatakan bahwa Acep Zamzam Noor yang
sejak awal mendapatkan pendidikan di lingkungan pesantren pada dirinya
tertanam rasa keagamaan dengan segala norma dan nilai Islam. Akidah dan
syariat telah tertanam dalam hatinya sehingga ia terkejut, terperangah
menghadapi sistem nilai, sistem sosial, dan sistem budaya baru yang
hampir tidak dikenalnya dan tidak terbayangkan sebelumnya, khususnya
ketika ia bersentuhan dengan hidup dan kehidupan modern. Ook Nugroho
menyatakan bahwa Acep Zamzam Noor adalah seorang penyair alam tulen,
dalam arti kata ia memang menyerap dan belajar begitu banyak dari alam.
Alam bukan hanya sekadar dipinjamnya untuk digunakan sebagai "alat"
pengungkapan cita rasa puitiknya, tetapi lebih jauh dari itu. Baginya
alam adalah semacam kitab rahasia yang masih harus disingkapkan
halaman-halamannya supaya terbaca segala makna yang tersirat di
baliknya. Sapardi Djoko Damono menyebut Acep Zamzam Noor sebagai penyair
yang akrab dengan alam pedesaaan sebagaimana yang terungkap dalam
"Cipasung" yang disebutnya sebagai sajak yang berhasil.
Di samping menulis puisi, Acep juga aktif melukis dan berpameran. Pada
tahun 1986, ia mengikuti Fourth ASEAN Youth Painting Workshop and
Exhibition di Manila, Filipina. Dia mengikuti juga Second ASEAN Writes
Conference di tempat yang sama pada tahun 1995. Pada tahun itu pula Acep
mengikuti 10th Asian International Art Exhibition di Singapura. Ketika
di Jakarta berlangsung Festival Puisi Indonesia-Belanda dan Istiqlal
International Poetry Reading, Acep tercatat sebagai peserta aktif. Pada
tahun 1996 ia mengikuti workshop dan pameran seni grafis di Grafisch
Atelier Utrecht, Belanda. Tahun 1997 ia ikut memamerkan lukisan dan
membacakan puisinya di Festival Seni Ipoh II, Malaysia. Pada tahun itu
pula ia menjadi pendamping delegasi penyair muda dari Indonesia dalam
Bengkel Puisi Majelis Sastra Asia Tenggara di Jakarta. Dia juga
mengikuti Festival Puisi Internasional Winternachten Overzee di Teater
Utan Kayu, Jakarta tahun 2001 dan pada tahun 2004 dalam acara yang sama
di Den Haag.
Dalam kariernya sebagai penyair, Acep Zamzam Noor telah memperoleh
beberapa penghargaan dari berbagai pihak. Dari Lembaga Basa jeung Sastra
Sunda, sebuah lembaga kesastraan di Bandung, ia memperoleh hadiah
sastra dua kali, yakni tahun 1991 dan tahun 1993 untuk jenis puisi Sunda
yang dikarangnya. Pada tahun 2001 dengan kumpulan puisinya Di Luar
Kata, ia memperoleh Penghargaan Penulisan Karya Sastra dari Pusat
Bahasa, Departeman Pendidikan Nasional. Selanjutnya pada tahun 2005 ia
memperoleh The SEA Write Awards dari Kerajaan Thailand sebagai wakil
pengarang Indonesia dengan kumpulan sajaknya Jalan Menuju Rumahmu.
Selain itu, Acep juga menerima penghargaan dari Khatulistiwa Literary
Award 2006—2007 untuk kumpulan puisi terbarunya berjudul Menjadi Penyair
Lagi.
Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Acep_Zamzam_Noer
| Ensiklopedia Sastra Indonesia - Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Comments
Post a Comment