Sastra dan Kenyataan adalah salah satu teori untuk memahami karya sastra. Dalam teori ini, karya sastra dianggap sebagai cerminan kenyataan. Karya sastra dianggap sebagai representasi dari kehidupan nyata sastrawannya. Menjadi cara sastrawan dalam melihat dunianya dan tentu dari sudut pandangnya.
Maka dari itu, untuk memahami karya sastra bisa dikaitkan dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, suatu daerah atau wilayah, atau negara, menjadi menjadi tempat dan waktu penciptan karya sastra tersbut. Begitu juga sebaliknya, untuk bisa memahami sudut pandang sejarah sebuah sastra dapat dilihat dari karya sastra yang lahir pada waktu itu.
Misalnya, karya sastra Indonesia yang lahir sebelum kemerdekaan. Bisa disimpulkan bahwa sudah mulai muncul puisi-puisi yang berisi keinginan untuk merdeka. Tetapi tidak berani menggunakan kata 'merdeka' secara eksplisit. Hal ini sebagai cerminan dari kenyataan bahwa Indonesia masih dijajah, bangsa Indonesia ingin merdeka, tetapi tidak berani untuk menyuarakan kemerdekaan secara langsung karena dianggap penjahat dan pemberontak yang akhirnya harus dipenjara.
Cerminan kehidupan juga muncul dalam karya sastra angkatan 45. Dengan puisi-puisi yang bertema perang dan perjuangan sudah mulai banyak. Memang pada waktu itu sudah terjadi konfrontasi terbuka. Perlawanan bersenjata. Bahkan tidak sedikit sastrawan dan penyair yang ikut terjun langsung sebagai pejuang mengangkat senjata di garis depan. Pada masa ini sudah muncul kata merdeka dengan tegas. Penolakan pada penjajahan juga sudah sangat tegas.
Ketika masyarakat Indonesia kembali terkekang oleh sebuah rezim, maka sastra juga menjadi cerminannya. Hal ini tampak salah satunya dengan novel Nyali karya Putu Wijaya. Dalam Nyali semuanya tidak jelas. Semuanya tumpang tindih. Terjadi saling bunuh. Tetapi tidak bisa menyelesaikan masalah. Hal ini merupakan penggambaran kondisi Indonesia yang lebih banyak 'diam' setelah peristiwa 65. Karena bagi yang berani bicara, maka akan dianggap merongrong negara. Maka diam dan diamkan sama saja.
Jadi, sastra itu selalu berkaitan dengan kenyataan yang terjadi, meskipun karya sastra bukanlah karya dokumentasi yang harus akurat. Setidaknya gambaran besarnya selalu sama dengan kenyataan.
Maka dari itu, untuk memahami karya sastra bisa dikaitkan dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, suatu daerah atau wilayah, atau negara, menjadi menjadi tempat dan waktu penciptan karya sastra tersbut. Begitu juga sebaliknya, untuk bisa memahami sudut pandang sejarah sebuah sastra dapat dilihat dari karya sastra yang lahir pada waktu itu.
Sastra adalah Gambaran dari Kejadian Nyata |
Misalnya, karya sastra Indonesia yang lahir sebelum kemerdekaan. Bisa disimpulkan bahwa sudah mulai muncul puisi-puisi yang berisi keinginan untuk merdeka. Tetapi tidak berani menggunakan kata 'merdeka' secara eksplisit. Hal ini sebagai cerminan dari kenyataan bahwa Indonesia masih dijajah, bangsa Indonesia ingin merdeka, tetapi tidak berani untuk menyuarakan kemerdekaan secara langsung karena dianggap penjahat dan pemberontak yang akhirnya harus dipenjara.
Cerminan kehidupan juga muncul dalam karya sastra angkatan 45. Dengan puisi-puisi yang bertema perang dan perjuangan sudah mulai banyak. Memang pada waktu itu sudah terjadi konfrontasi terbuka. Perlawanan bersenjata. Bahkan tidak sedikit sastrawan dan penyair yang ikut terjun langsung sebagai pejuang mengangkat senjata di garis depan. Pada masa ini sudah muncul kata merdeka dengan tegas. Penolakan pada penjajahan juga sudah sangat tegas.
Ketika masyarakat Indonesia kembali terkekang oleh sebuah rezim, maka sastra juga menjadi cerminannya. Hal ini tampak salah satunya dengan novel Nyali karya Putu Wijaya. Dalam Nyali semuanya tidak jelas. Semuanya tumpang tindih. Terjadi saling bunuh. Tetapi tidak bisa menyelesaikan masalah. Hal ini merupakan penggambaran kondisi Indonesia yang lebih banyak 'diam' setelah peristiwa 65. Karena bagi yang berani bicara, maka akan dianggap merongrong negara. Maka diam dan diamkan sama saja.
Jadi, sastra itu selalu berkaitan dengan kenyataan yang terjadi, meskipun karya sastra bukanlah karya dokumentasi yang harus akurat. Setidaknya gambaran besarnya selalu sama dengan kenyataan.
Comments
Post a Comment